Kamis, 26 November 2015

Keajaiban

Keajaiban doa seorang ibu
Pada suatu hari saat Sudais tengah bermain pasir, di rumah kedatangan tamu rekan orang tuanya.  Seperti biasa Ibunya menyiapkan hidangan guna memuliakan sang tamu. Hidangan itu berupa sajian kambing siap santap. Nah di saat hidangan tersebut hendak disajikan ke tamu, Sudais kecil dengan kenakalannya malah menaburi masakan itu dengan pasir.
Waaah… kalau kita gimana jengkelnya? Ibunda Sudais juga geram kepada anaknya tapi ia mencoba menahan diri dari berkata buruk, ia malah berujar begini,
“Pergilah Nak, semoga Allah menjadikan kamu Imam Masjidil Haram”.  Subhanallah.  Kira-kira ini keceplosan atau apa ya Sahabat Ummi? ucapan baik dari seorang Ibu bisa menjadi doa untuk anak-anaknya.
Sebuah contoh  doa orang tua yang mustajab. Sudais yang dikenal nakal masa kecilnya kini menjadi imam besar Masjidil Haram. Suaranya yang merdu  didengar bukan hanya di Makkah, melainkan menggema di seluruh dunia. Sungguh tak terlintas dalam benak si Ibu, bagaimana mungkin anak yang nakal dan malas belajar bisa menjadi Imam Masjidil Haram?
Dan demikian kita para ibu, tatkala melihat sisi-sisi kekurangan anak kita yang tercermin dalam bentuk kenakalan, bandel, susah diatur, sulit nurut, rewel, cengeng, keras kepala, malas, mau menang sendiri, gampang ngambek, kita seolah dibenturkan pada batu kekecewaan.  Mengelus dada masih mending, tapi ada pula para Ibu yang tanpa sadar melepaskan kata-kata cemooh, mengejek, menakut-nakuti bahkan serapah saking keselnya. 
Memang tidak mudah ya Sahabat Ummi menjadi seorang Ibu? Butuh banyak pengetahuan untuk menyiasatinya. Mungkin itu sebabnya seminar parenting pun sekarang menjamur di mana-mana sebagai upaya mencari solusi mengatasi masalah orang tua dalam membimbing anaknya.
Sahabat Ummi, sesungguhnya doa memang memang memiliki kedudukan yang tinggi dalam agama kita bahkan termasuk dalam bagian ibadah. Imam Turmuzi dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah mengatakan bahwa Rasulullah pernah berpesan ”Tidak satu pun yang lebih dihargai oleh Allah daripada doa”.
Bahkan Aisyah r.a pun mengatakan hadits Nabi yang intinya menyatakan bahwa doa lebih mempan dari sikap berhati-hati alias waspada terhadap takdir. Doa bermanfaat  terhadap hal-hal yang sudah terjadi maupun yang belum terjadi. Jika musibah turun tapi disambut dengan doa maka keduanya akan bergulat sampai hari kiamat.
Saya sendiri sebagai penulis pernah punya pengalaman yang berkesan tentang doa untuk anak.  Anak kedua saya laki-laki saat itu berumur 3,5 tahun pernah saya daftarkan untuk mengikuti kelompok bermain (play group) daripada di rumah bermain sendiri hanya ditemani asisten rumah tangga saya yang dipanggilnya Teteh. 
Hari pertama masuk sengaja saya temani. Tapi ia tak menunujukkan kegembiraan mengikuti aktivitas di PAUD itu. Demikian pula hari berikutnya saat ditemani Teteh, ia berangkat namun ogah-ogahan.  Belum sampai seminggu ia mogok.  Tak mau sama sekali datang ke sekolah.  Kalau disinggung ia akan marah dan ngambek luar biasa kadang sambil memukul saya. 
Akhirnya saya memutuskan untuk mundur saja.  Ya berhenti sekolah karena menurut pertimbangan saya dia belum siap untuk masuk dalam aktivitas tersebut. Saya mencoba mengajarinya sendiri di rumah sedikit-demi sedikit sepulang kerja. Demikian seterusnya hingga usia 4,5 tahun yang seharusnya masuk TK A, ananda masih saja ogah kalau disinggung-singgung tentang sekolah.
Tak ada rasa gembira sedikit pun tersirat di wajahnya jika disebut kata sekolah, teman-teman yang banyak, taman bermain yang menyenangkan.  Saya pun memutuskan untuk tidak memasukkannya ke TK A.  Yang bisa saya lakukan selain menemaninya sebisa mungkin waktu yang ada adalah berdoa, berdoa dan berdoa.
Selepas sholat, menyendiri, bahkan tengah mengandarai motor sehari-hari saya berdoa memohon kiranya Allah membukakan pintu hati ananda agar terbuka, menggenggam jiwanya dan menyentuh hatinya yang keras agar melunak. Tak bosan-bosan hingga setahun lamanya sampai usianya di 2014 kemarin memasuki 5,5 tahun. Saya punya keyakinan Insya Allah ia akan siap bersekolah. Masuk TK B dulu lalu masuk SD layaknya anak-anak yang lain.
Sebenarnya bisa saja saya berpikir kelak mencoba homeschooling, tapi entahlah saya belum terlalu niat ke arah sana. Pikiran sederhana saya, bertemu dengan para guru, kawan-kawan sebaya dengan beragam tipe anak-anak juga lingkungan sekolah yang biasanya mendukung aktivitas belajar  menurut saya masih menjadi prioritas untuk anak.
Akhirnya dengan bismillah saya meniatkan diri mendaftarkan ananda ke TK B di dekat komplek rumah.  Pertimbangan saya biar lebih mudah mengantar dan memantaunya. Ya  tentu saja tanpa sepengetahuannya. Upaya memasukkan TK B ini juga dikarenakan prasyarat masuk SD pada umumnya menanyakan sebelumnya sekolah di TK mana?
Saya masih ingat pas bulan Juli tahun 2014 lalu awal Ramadhan.  Saya meminta ijin atasan datang telat ke kantor karena ingin menemani hari pertama anak masuk sekolah.  Hingga pukul 7.00 anak saya masih tidur tak mau dibangunkan. Dalam lantunan doa selepas sholat dhuha saya memohon diberi kekuatan dan cara dari Allah untuk membujuknya.  Air mata saya meleleh kemana-mana.  Begitu besar harapan saya semoga Allah menolong saya melalui cara-Nya.
Saya bangunkan perlahan, memeluk dan menggendongnya.  Lalu mengajaknya mandi.  Selepas memakai baju muslim yang memang sudah saya persiapkan, saya bilang begini “Nak, Ibu dan Bi Amih  (asisten RT saya saat itu) mau mengajakmu ke sanggar bermain.  Sanggar itu milik teman Bi Amih.   Jadi nanti kamu jalan bareng dulu dengan Bi Amih, Ibu menyusul di belakang ya.”  Anak saya mengangguk dan mengiyakan saja.  Pada dasarnya dia anak yang manis tapi entahlah kalau disinggung kata sekolah ia bisa mendadak galak. Trauma yang sampai saat itu saya belum bisa mendeteksinya.
Alhamdulillah, di hari pertama meski saya lihat ia hanya mau duduk di belakang tapi dia mengikuti sampai selesai.  Hari berikutnya di temani si Bibi ia sudah tak mau ditemani di kelas. Berikutnya lagi meskipun masih pendiam dan pemalu dia sudah mau bercakap-cakap dengan temannya. Perkembangan berikutnya mau menjawab kalau ditanya guru.  Kadang ia bertanya lucu, “Ibu sampai kapan aku di Sanggar?” katanya. “Sampai nanti kamu punya teman banyak” jawab saya senang.
Subhanallah betapa bersyukurnya saya atas terijabahnya doa itu. Sungguh Allah Maha memberi jalan keluar. Kini Ananda sudah terbiasa menyebut kata sekolah, sudah bisa membaca dan menulis (walaupun sebenarnya bukan target utama saya), sudah terbiasa mengerjakan PR, dan kadang bercerita tentang teman-temannya. Insya Allah Juli tahun ini semoga dimudahkan juga jalannya untuk masuk SD.
Sahabat Ummi ini sekedar sharing cerita saja tak ada maksud melebih-lebihkan. Karena keyakinan doa itu, saya mulai terbiasa berdamai dengan kondisi anak-anak saya. Tak gusar jika mungkin dia atau kakaknya tak seprestatif teman-temannya di sekolah, mungkin belum pernah dapat piala, menggeleng jika ditawari ikut les, tak suka dipaksa ikut lomba-lomba.  Atau lainnya.  Biasa-biasa saja menanggapinya.
Saya yakin mereka memiliki cahaya bintang sendiri. Suatu saat dengan izin Allah melalui doa-doa kita mereka pasti akan memunculkan pendar-pendar  prestasinya. Saya hanya ingin anak-anak saya bahagia melalui tahapan usianya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar